Selasa, 28 Mei 2013

Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia.
Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Berikut akan kami bahas lebih mendalam lagi, dalam makalah kami yang berjudul Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam.





BAB II
Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia.
Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
1. Seni Bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Seperti  Masjid Aceh merupakan salah
satu masjid kuno di Indonesia.
 
Gambar 1. Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia 
Masjid adalah tempat ibadahnya orang Islam. Di Indonesia, istilah masjid biasanya menunjuk pada tempat untuk menyelenggarakan shalat jumat.
Masjid di Indonesia pada zaman madya biasanya mempunyai cirri khas tersendiri, diantaranya :
  1. Atapnya berbentuk “atap tumpang” yaitu atap bersusun. Jumlah atap tumpang itu selalu ganjil, 3 atau 5 seperti di Jawa dan Bali pada masa Hindu.
  2. Tidak adanya menara. Pada masa itu masjid yang mempunyai menara hanya masjid Banten dan masjid Kudus.
  3. Biasanya masjid dibuat dekat istana, berada di sebelah utara atau selatan. Biasanya didirikan di tepi barat alun-alun. Letak masjid ini melambangkan bersatunya rakyat dan raja sesama makhluk Allah. Selain di alun-alun, masjid juga dibangun di tempat-tempat keramat, yaitu makam wali, raja atau ahli agama.
Bentuk perkembangannya sesuai dengan perkembangan zaman. Sekarang kebanyakan masjid atasnya berbentuk kubah dan ada menara, ini merupakan pengaruh dari Timur tengah dan India.
Selain bangunan masjid, bentuk akulturasi juga terlihat dari makam, seperti Makam Sendang Duwur (Tuban).
Gambar 2. Makam Sendang Duwur (Tuban)
Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
a. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
b. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu.
c. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
d. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
e. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur.
2. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, misalnya ragam hias. ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir.
Gambar 3. Kera yang disamarkan
3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia.
Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.
Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.
Kedatangan Islam ke Indonesia membawa pengaruh cukup besar bagi kebudayaan Indonesia. Tetapi bukan berarti menghapus semua yang ada sebelumnya. Misalnya, kesenian wayang yang telah ada sebelum kedatangan Islam. Bahkan wayang ini digunakan para wali untuk menyebarkan agama Islam.
4. Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha. Tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya.
Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti
halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.

5. Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
-nama bulan yang digunakan adalah 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Demikian pula, nama-nama bulan mengacu pada bahasa bulan Arab yaitu Sura (Muharram), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Saka karena penanggalan harian Saka saat itu paling banyak digunakan penduduk Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
Selain akulturasi budaya, Islam juga berpengaruh bagi Indonesia di bidang bahasa dan juga di bidang pendidikan.
1. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa

Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial).

Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, kosakata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia, yang sedikit contohnya sebagai berikut:

Kosakata Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab


Arab
Indonesia

Arab
Indonesia
isnain
Senin (dua)

`ajā'ib
Ajaib
tsalasa
Selasa (tiga)

`aib
Aib (malu)
arbain
Rabu (empat)

Ahl
Ahli
kamis
Khamis (lima)

`ādil
Adil
jumu’ah
Jumat (ramai)

`abd
Abdi
badan
Tubuh

abadī
Abadi
yatim
Yatim

Abad
Abad
wujud
Wujud (rupa)

dahsha
Dahsyat
usquf
Pemimpin gereja

dalīl
Dalil (bukti)
umr
Umur

ghaira
Gairah (hasrat)
daraja
Derajat

wajh
Wajah
darura
Darurat

wājib
Wajib
awwal
Awal

walīy
Wali
atlas
Atlas

waṣīya
Wasiat
asli
Asli

wilāya
Wilayah
‘amal
Amal

yaqīn
Yakin
ala
Alat

ya`nī
Yakni
alama
Alamat

Nashichah
Nasehat/nasihat
alami
Alami

Ijazah
Ijazah/ijasah


Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih familiar membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu nisan. 

2. Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan 

Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah pesantren. Asal katanya pesantren kemungkinan shastri (dari bahasa Sanskerta) yang berarti orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan pesantren diambilalih Islam. 

Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan Islam. Siswa tinggal bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horisontal signifikan. 



4 komentar: